Lucky ( jadilah bagian hidupku)

JADILAH BAGIAN HIDUPKU.
“Kriiing.”  Bunyi bel masuk berbunyi. Hari Senin, jadwal upacara. Asyik. Terlambat lagi! Tapi kami berdua tak khawatir. Tadi kami sudah menitipkan tas ke temanku, Eka. Untuk menuju kesekolahku kami harus menunggu angkot yang jumlahnya sangat sedikit, kami malas untuk berdesak-desakan didalam angkot tersebut, dan harus berlari-lari mengejar angkot yang kosong. Hadeeeh, dengan fisikku yang imut ini aku yakin kita berdua pasti kalah terus dengan yang lain. Lain lagi dengan Eka temanku yang bulat. Dia sangat gesit untuk mengejar angkot dan menerjang diantara teman sekolah kami yang lain. Akhirnya , Dia mendapat duduk.
“Ka, titip tas ya!” mintaku kepadanya. “Wei, tas aku juga dong!” celetuk Dwi dari belakang. “Hehe, oh ya, nih sekalian, Makasih ya!” ucapku. Aku memberikan tas kami berdua. Lalu angkot itu pun berangkat. Lalu kami pun menunggu angkot yang lain, masih banyak siswa sekolah kami mengantri angkot yang datang.
“Angkot merah yang kutunggu...kutunggu...tak datang-datang!”Dwi bernyanyi, aku cuma tersenyum sambil melongok ke arah jalanan jika angkot itu sudah datang atau belum. Ah, Sudah jam 7 kurang 10 menit, kulihat ke arah jamku. Nah, itu akhirnya ada juga yang kosong. Kami pun naik, beginilah kehidupan kami para siswa yang harus mengejar angkot demi ilmu yang bermanfaat, ehehe.
“Kalian yang terlambat, semua baris disini! Tidak boleh masuk! Kalian upacara diluar!” ucap guru piket kami Pak Bahar. Sudah banyak siswa yang masuk gerbang tapi tak boleh masuk ke sekolah kami, mereka berjejalan disana. Ada dua pintu masuk. Pintu gerbang utama dan pintu depan masuk sekolah yang biasanya dijaga oleh dua guru piket. Kami berdua melangkah santai menuju guru piket, untungnya Bu Tutik yang menjaga.
“Bu, izin masuk ya, kami tadi balik lagi mengambil buku ini Bu, tas kami sudah didalam. Rumah saya dekat Bu, dibelakang sekolah.” Celetuk Dwi dengan muka polosnya sambil menunjukkan buku paket. Aku hanya mengangguk saja. Bu Tutik menatap kami berdua yang tidak membawa tas.  “Ya sudah sana masuk barisan!” Akhirnya ia mengizinkan kami masuk. Trik ini selalu berhasil kalau kami malas berdesakan di angkot. Kami berdua melambaikan tangan dan nyengir pada temanku yang harus upacara diluar. Karena agak sedikit terlambat kami pun harus baris dibarisan yang terakhir. Yup, memang itu yang kucari, aku paling malas dengan upacara, karena tubuhku imut, aku selalu ditempatkan dibarisan depan padahal aku ingin sekali baris dibelakang karena lebih sejuk di tutupi pepohonan besar dibandingkan berbaris dibagian depan.
Baiklah, kami bertiga adalah sahabat, Dwi, Eka dan aku, Nisty. Masa SMA ku, kuhabiskan di Jakarta Timur. Aku tidak sekelas dengan mereka. Kami anak IPS. Sebenarnya saat pemilihan jurusan ada test psikologi terlebih dulu dan hasilnya aku harus masuk ke jurusan IPA, namun aku merasa tak cocok dan menghadap ke wali kelasku untuk itu.
“Maaf, Bu. Saya sepertinya memilih IPS saja.” Jelasku. “Ya, sudahlah kalau itu keinginanmu, Ibu tak memaksa.” Jawabnya. Untungnya orangtuaku tak mengetahui itu, aku hanya menjelaskan kalau nanti aku masuk jurusan IPS. Punya orangtua yang sibuk ada untungnya juga, pikirku. Namun aku berjanji akan serius dengan pilihanku.
Begitulah sekarang aku siswa jurusan IPS, aku sekelas dengan seseorang yang sangat menarik perhatianku, Kamil. Entah kenapa, mungkin karena rambutnya, mirip Landak. Hahaha. Tidak, bukan itu alasanku, ia selalu mengerti aku. Saat aku tak mengerjakan PR, biasanya, ‘”Aaaaaa!” aku langsung teriak dengan keras. Langsung aku mengerjakan PR dengan cepat. Tapi kini setiap aku berteriak, Kamil selalu berbalik badan kearahku dan memberikan PR nya tanpa diminta kepadaku. Heehe. Mungkin Ia tak tahan dengan teriakanku. Aku pun hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasihku padanya. Ia sangat baik padaku dalam segala hal, entahlah, mungkin hanya perasaanku saja tapi aku menyukai semua yang didirinya.
Suatu hari Eka datang kekelasku, dia nampak semangat sekali mendekatiku. “Nisty, Sini cepetan,” teriaknya dari luar kelas. Saat itu sedang istirahat. Aku sedang menanyakan soal matematika kepada Kamil, temanku. Aku menatap Eka, dan berkata kepada Kamil. “Sebentar ya Landak, ntar lanjut lagi, OK, jangan kemana-mana! Ada yang belum aku mengerti.” Dan Kamil pun hanya mengangguk.
“Apaan sih?” tanyaku.
“Kamu tahu abangku kan? Lucky? Dia bilang dia lagi suka sama seseorang, duh siapa ya, jangan-jangan dia suka aku, hehe..  tapi aku udah terlanjur anggap dia sebagai abang aku, ah payah deh. Tapi katanya dia anak IPS, bukan IPA. Abang kan anak IPA, masa sih ga’ ada anak IPA yang cakep. Trus katanya lagi, aku pasti kenal cewek itu. Nah, Penasaran tahu!  Bantuin aku dong, cariin siapa dia.” Celotehnya.
Aku cuma geleng-geleng kepala, temanku yang satu ini memang cerewet sekali. Eh, tadi dia cerita siapa? Lucky? Dia anak depan kelasku, kelas kami dipisahkan lapangan upacara. Mereka sudah bertemanan lama saat SMP. Aku dan Eka berbeda sekolah saat SMP, kami akrab saat SMA. Eka tak mempunyai kakak laki-laki. Aku hanya mengenalnya sekilas jika dia dan Eka mengobrol, aku hanya duduk manis disamping Eka dan menimpali sekali-kali. Paling aku hanya menatap wajah Eka dan Lucky. Lucky cukup manis. Manis, duh.. Ganteng sih ga’ tapi aku suka menatapnya, kalem, bijaksana, sepertinya adem hati kalau disampingnya. Waduh! Apa-apaan ini.
“Woi, malah bengong!” tegor Eka. “Bantuin!” Aku nyengir, “Ya ampun Ka, ngapain bingung, tanya aja sih ke dia ciri-ciri perempuan yang dia suka itu kaya gimana, nanti baru kita cari!” jawabku.
“Oh ya, bener juga ya!” Lalu aku melihat Lucky diseberang kelas menuju kearah kelasnya. “Tuh, Lucky!” tunjukku kepada Eka. Eka menengok dan berteriak “Abang..!”.  Astaga, kenceng bener teriaknya gumamku dalam hati. Lucky pun menengok, melambaikan tangan dan tersenyum manis padaku. Eh, masa sih. Aku melirik Eka, ah mungkin aku salah.  “Yuk ah, Nis, aku keabang dulu, daah.” Dia pun berlari menyebrangi lapangan.
Aku kembali kedalam kelasku, melihat kearah Kamil yang masih asik kutak-katik dengan PR Matematika, lalu aku duduk dibelakangnya. Dia membalikkan badannya dan bertanya padaku, “Ngapain si ndut Eka?” Aku mengangkat bahuku, “ Cuma curhat, katanya si Lucky lagi suka sama anak IPS, tapi dia ga’ tahu siapa yang ditaksir Lucky dan kata Lucky juga, Eka kenal sama seseorang yang dia taksir.”
“Owh, paling kamu yang Lucky suka! Kamu jadian aja sama dia” Lalu Dia membalikkan badannya lagi. Aku terbengong dan spontan aku mengambil buku diatas meja dan menepuk kepalanya. Pluk. Dia mengusap kepalanya. “Ih, apa salahku sih?” Aku melotot, “Enak aja kalau ngomong, aku aja kenal Lucky Cuma sekilas doang!”
Dia ma lah berdiri, membalikkan kursinya dan duduk menghadapku, “Nisty, kamu suka perhatiin ga’, sadar ga’ kalau kamu bertiga lagi ngomong depan kelas kita, yang dilihat Lucky itu wajah kamu! Bukan Eka, lagipula mana mungkin Lucky suka sama Eka. Kamu tuh yang aneh, sadar diri dong.” Aku mengerenyit, mana aku perduli, aku lebih sering jadi pendengar yang baik. Aneh juga, kenapa si Kamil ini bisa memperhatikan itu ya?
“Entahlah, nah mending lanjutin soal yang ini aja, caranya gimana?” aku menatapnya, aku suka matanya yang coklat bersinar, terlihat pintar. Sebenarnya bukan terlihat lagi, dia selalu menjadi juara umum disekolah kami, ketua OSIS, ketua Paskibraka dan PMR. Belum lagi dia aktif kegiatan sekolah. Banyak yang menyukainya dari adik kelas maupun kakak kelas. Aku termasuk didalamnya, I love him. Tapi dia tak pernah sadar sepertinya. Namun, aku senang menjadi sahabatnya. Cuma satu kelemahan Kamil, pelit dengan kepintarannya. Dia selalu menolak untuk mengajari temannya jika temannya bertanya, yang selalu dia ucapkan adalah “ Kamu cari dulu deh, kerjain dulu baru nanti aku periksa!”
Anehnya dan untungnya aku tak termasuk kedalam itu, setiap aku memanggilnya dari belakang, dia selalu membalikkan badannya dan menjelaskan kepadaku dengan detail. Sama seperti sekarang, sedikit terganggu dengan ucapannya barusan maka konsentrasiku buyar dan pada saat dia menunduk menjelaskan aku hanya menatap rambutnya yang berdiri biasanya aku hanya mengusapnya menggunakan jariku namun kali ini spontan aku menjumputnya sedikit. Rambut landak!
“Nisty! Ngerti ga’ yang aku terangin tadi?” Aku nyengir dan menggeleng. Dia mengusap kepalanya lagi, “Besok, aku cukur rambut!” Aku malah tertawa terbahak-bahak.
Keesokan harinya, aku datang lebih awal dan duduk dikursiku, sambil menyender aku menatap kursi depanku. Tumben, Kamil belum datang, biasanya dia selalu datang awal. Lalu terdengar suara anak perempuan berisik diluar kelas, “Kamiiiiil, ..” aku mendengarkan saja dan menunggu, dia masuk menggunakan topi dan tersenyum jelek kepadaku. Menaruh tasnya dan membuka topi.
Landak, beneran?” aku manyun, dan dia tersenyum senang. Aku menatapnya sebal dan memalingkan wajahku. Gantian Kamil tertawa terbahak-bahak. Aku berdiri dan meninggalkannya keluar kelas. Pas kebetulan Eka datang menghampiriku dan memperlihatkan giginya, “Aku sudah dapat ciri-cirinya! Anaknya imut, trus suka iseng, tapi dia kalem, langsing, rumahnya diperumahan kamu Nisty!” Ungkapnya. Aku yang sedang badmood langsung berkata padanya, “Eka, itu kan ciri-ciri aku! Siapa lagi temen yang kamu kenal?” Cetusku.
“Eh, iya ya, wah Abang nih bikin aku pusing aja! Tapi ga’ papa’ deh kalau itu kamu Nis, tapi yang jelas jangan sakitin Abang aku ya! Ya udah sana kamu jadian aja sama dia!” Ucap Eka bersemangat. “What?” Aku memegang kepalaku dan menatapnya. “ Sudahlah,  aku mau ketemu Dwi dulu! See you!” aku meninggalkannya dan melangkah ke arah kelas Dwi, saat aku sudah berhadapan dengannya bel masuk berbunyi. Ah, sebel, “Dwi, nanti istirahat kita ngobrol ya!” Tukasku. Dwi hanya mengangkat jempolnya, “Siip”.
            Saat tiba dikelasku Kamil menatapku dan aku melengos, “Nisty, rambut aku kan bisa panjang lagi, kamu jangan manyun dong, dunia tidak indah lagi dihadapanku!” Ucapnya. Aku melihatnya memegang kepala, tersenyum mendengarnya, benar juga. Aku melihat ke arah matanya, “Botak!” Aku mengusap kepalanya. Kamil pun lantas ngamuk-ngamuk, aku tertawa geli. Namun aku sempat melihat kearah Kamil, dia tersenyum. Ah, Indahnya.
Saat istirahat aku menuju kelas Dwi, Dia sudah standby duduk di kursi taman di depan kelasnya. “Ada apa? Landak lagi? Cape kan Nisty, kalau kamu hanya bertepuk sebelah tangan. Terus terang saja.” Dwi langsung mengucapkan kata-kata itu. Aku menggelengkan kepalaku, “Mana mungkin, aku kan perempuan, ya menunggu lah!” jawabku.
            Seminggu setelah Kejadian itu, aku mendapatkan kabar buruk. Kamil ‘jadian’. Ah, kenapa dia tak bercerita kepadaku. Dan dia jadian dengan teman sekolahku yang namanya hampir sama sepertiku. Namaku Nisty Ardy dan dia Nisti Abdullah. Aku mengepalkan tanganku. Kenapa? Akhirnya aku menghampirinya dan bertanya langsung. “Landak, kamu ga’ bisa jadian dengan cewe yang namanya beda dengan aku? Kenapa harus sama?” tanyaku. Dia hanya melihatku dan tersenyum. “Kamu kan sebentar lagi juga ‘jadian’ kan sama Lucky? Lucky kan menyukaimu, aku mendengarnya saat Eka berbicara denganmu waktu itu, kita seimbang!”
            Seimbang? Apa maksudnya? Aku dan Lucky saja tidak pernah berbicara selama seminggu ini, aneh! Aku terdiam dan duduk dikursiku. Lalu aku menulis sesuatu di kertas, melipatnya, kemudian aku menulisnya lagi dan melipatnya lagi. Aku lalu pergi meninggalkan kelas. Aku menuju ke kantin. Biasanya dia selalu ada di kantin. Aku mencarinya keseluruh kantin, tapi tak menemukannya. Ah, harus ke kelasnya nih. Bertepatan saat dia menuju keluar kelas hendak membuang sampah didepan kelas, aku menghampirnya.
“Lucky , sebentar aku mau berbicara!” Dia tersenyum manis padaku. “Eh, Nisty, tumben, ada apa?”. Aku menyerahkan tulisan dikertas itu, lipatan pertama. “Kamu suka aku? Kalau iya mengangguk, kalau tidak menggeleng.” Aku melihat kearahnya, Dia mengangguk sambil tersenyum. Lalu aku membuka lipatan kedua. “Kamu mau jadi pacarku?”. Dia pun mengangguk. Lipatan ketiga. “Kamu mau terima aku apa adanya?”. Dia pun menganggguk lagi, “ Ya, sudah. Makasih. Mulai hari ini ya.” Dia mengangguk lagi. Aku pun hendak kembali ke kelas. Tapi Dia memanggilku, “Nisty, hari ini kita pulang bareng ya?”. Aku mengangguk dan tersenyum.
            Astaga, apa yang barusan aku lakukan? Aku melangkah ke kelas, dan menghempaskan tubuhku di kursi. Puas? Aku hanya menatap punggung Kamil. Setidaknya aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Belajar menyukai Lucky. Oh, tidak. Dia manusia super, baik, kalem, pintar, supel. Sedangkan aku? Ah, masa bodo lah, dia kan sudah berjanji mau menerimaku apa adanya.
            Saat bel pulang sekolah, seperti biasa Dwi menghampiri kelasku mengajakku pulang bersama. “Yuk, cabut!” Aku merapihkan bukuku dan berkata, “Aku pulang bareng Lucky! Sorry, aku lupa ngasih tahu.” Dwi membulatkan mulutnya, “Haaa? Maksudnya? Aduh, pulang bareng Eka nih terpaksa!” sambil menepuk jidatnya. Dwi melirik kearah Kamil yang kuyakin pasti mendengarnya. “Landak, Upacara besok aku jadi pengibar bendera ya?” Kamil mengangkat kepalanya, “Ok! Nisty, aku duluan ya, selamat bersenang-senang!” Dia tersenyum simpul dan meninggalkan kami berdua.
            Dwi mengepalkan tangannya saat dia mulai menjauh, “Uwh, pengen nonjok si Landak rasanya!” Dia melotot menatapku, “Kamu lagi, Nis .. Beneran ?” Aku menghela nafasku, “Cape, bener juga katamu, mendingan belajar mencintai seseorang yang mencintaiku, seperti Lucky!” Dwi menatapku kasihan, aku berdiri, “Hei, santai aja, aku kan gak harus pulang tiap hari bareng dia, kalau aku bosen gimana? Yuk! Temenin aku, sampe gerbang, kalau dia memang beneran suka sama aku pasti dia inget janjinya. Kalau gak, ya kita pulang bareng.” Kami pun melangkah keluar kelas, aku melihatnya diseberang kelas, Lucky menatapku, tapi dia masih mnegobrol dengan teman-temannya. Kami melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Keluar gerbang kami masih jalan berdua, Dwi berhenti di warung luar sekolah kami, “Haus aku, sebentar.” Dwi melangkah masuk kedalam warung, aku menunggu diluar saat suara itu memanggilku, aku menoleh, “Nisty, maaf ya aku gak enak meninggalkan pembicaraan dengan temanku.” Aku mengangguk pada Lucky. Dwi melongokkan kepalanya keluar, “Eh, Lucky... kalian duluan saja, aku disini sekalian nunggu Eka, tadi sepertinya dia belum keluar kelas.” Aku mengangguk dan melangkah, “Owh gitu, kita duluan ya Dwi.” Lucky pamit kepada Dwi.
            Aku menghela nafas, mencoba tersenyum. Kami berdua membahas masalah biasa, aku tetap menjadi pribadiku yang biasa, jika ada hal yang lucu aku tertawa dengan lepas. Aku tak suka munafik, Lucky hanya tersenyum manis melihatku tertawa. Aku menatapnya, Ya Tuhan, aku suka senyumnya. Kami berpisah karena rumahku beda arah dengannya, tadinya Lucky ingin mengantarku pulang tapi aku menolaknya mungkin dilain waktu saat hatiku sudah siap. Di bis aku berfikir aku akan putus asa terhadap Kamil. Tapi hari ini indah, semua mengalir begitu saja. Tak ada yang perlu aku khawatirkan, mungkin aku akan jatuh cinta. Mudah-mudahan Lucky akan selalu menjadi bagian dariku. 
            Dua minggu berlalu, aku sering menatap keluar kelas saat istirahat, diseberang sana yang kucari hanyalah Lucky. Saat istirahat kami tak harus saling bertemu, kami punya komitmen tidak terucap. Teman adalah segalanya. Aku tetap bercengkerama dengan Dwi atau Eka saat istirahat. Paling hanya Eka yang sedikit cerewet, “Nisty, kamu gimana sih, kamu kan sudah jadian sama Lucky, kalian jarang berduaan sih, gimana dunia bisa tahu kalau kamu kekasih Lucky?” Aku menatap Eka. “Memangnya hal itu perlu diumumkan?” Eka melotot, “Duh, Nisty, setidaknya biar teman-teman Lucky tahu, dia sekarang udah punya pacar. Trus, kamu mau apa Lucky nanti digaet sama orang lain?” Aku terdiam, aku melihat keseberang, meskipun Lucky berbicara kepada temannya terkadang kulihat ekor matanya menatap kearahku dan tersenyum.
            Aku berdiri dan menarik tangan Eka, “Yuk, kesana. Dwi ikut gak?” Dwi menggeleng “Aku lagi makan bakwan nih, nanggung kalian saja yang kesana!” Eka tebengong dan mengikutiku, saat mendekat kudorong Eka maju kedepan, “Eh, Abang.. apa kabar?” Eka langsung sigap mengucapkannya, untung aku punya sahabat sebaik dia. Aku hanya tersenyum manis menatap Lucky dan kawannya. Lucky langsung mengenalkanku pada temannya, “Eh, ini Nisty, pacar aku!” teman-temannya langsung terbengong-bengong menatapku heran seakan tak percaya dengan ucapan Lucky yang tiba-tiba. Aku lantas mengulurkan tanganku kepada mereka. Mereka menatapku sambil tersenyum kaget. Eka langsung menyelamatkanku sambil berkata kepada mereka, “Eh, kita berdua mau ke perpustakaan dulu ya, daaah Abang.” Menarik tanganku menuju perpustakaan, “Error ya kamu Nisty!”
            Ake menengok kearah belakang, Lucky tersenyum manis dan teman-temannya masih menatapku bengong. Aku tersenyum kepada Lucky dan melambaikan tanganku, Lucky pun mengangkat tangannya.     Aku berharap semua ini berjalan dengan lancar. Kamil? Biarlah dia menjadi kenangan indah. Saat ini kudengar hubungannya baik-baik saja dan hubungan kami pun masih seperti biasa. Tak ada perubahan, mungkin Tuhan tahu mana yang terbaik untukku. Rasa nyaman berada disisi Lucky membuatku yakin, Ia yang terbaik. Tuhan menciptakan pelangi setelah badai. Aku hanya menjalaninya dengan santai. Pertahankan rasa ini ya tuhan.



Comments

Popular Posts