Karan (Tak Terlihat)
“Hi, asl pls!” tulisan pertama yang kulihat pada saat aku
membuka chat messenger negara Asia. “Hi,
f,25, ina” jawabku. “Where’s that?” tanyanya. “Wbu?” lanjutku tanpa menjawab. “I’m Karan, 27, India.” Tulisnya. “I’m Cassie from Jakarta. Indonesia
.”
Itulah awal perkenalanku dengannya. Ia memperkenalkan
dirinya sebagai mahasiswa kependidikan teknik di India. “Namaku Karan Nash. Di
India berarti “keren”. Aku hanya tertawa saja saat dia memperkenalkan dirinya. “Ayahku
bekerja sebagai angkatan sipil, mungkin di Indonesia sebagai TNI, pikirku. Aku
anak tertua, adikku perempuan. Aku sangat menyayangi ibuku. Dia segalanya
untukku. Saat ini aku masih tinggal dengan keluargaku. Aku tidak merasa cocok
dengan ayahku, tapi dia ayah yang baik. Banyak pemikirannya yang tidak sesuai
denganku, tapi aku lebih memilih diam. Aku tidak ingin menyakiti hati ibuku
jika ia harus mendengarkan suara teriakan kami berdua. Eh, bagaimana denganmu?”
tanyanya. Aku mulai menceritakan bahwa setelah aku menyelesaikan kuliahku, aku
bersyukur diterima disuatu sekolah bergengsi disini. Dan syukurlah gajiku cukup
lumayan.
“ Hey, itu berarti kau seorang guru?” aku menjawab “Yup!”.
“ Wow, level apa yang kau ajar? Dan kau mengajar apa?” tanyanya. “Junior High, English”
“ Ya ampun, kau tahu, Bahasa Inggrisku amat buruk,
bersyukur aku berkenalan denganmu! Ajarkan aku dengan jenis grammar yang aku sulit sekali mengerti!”
tulisnya. Aku tersenyum, entah mengapa aku sangat menyukai bahasa, menyenangkan
rasanya bisa menguasai suatu bahasa yang baru. Seperti halnya di Indonesia yang
ku akui banyak sekali bahasa etnis. Aku pun berharap bisa menguasai bahasa
Hindi. Karan tertawa, “ Kami disini pun memiliki banyak ragam bahasa, namun
tiap daerah juga memiliki kekhasan tersendiri”. “Ajarkan ku juga bahasamu!”
ucapku. “Well.. kita bertukar bahasa,
kurasa adil bagiku.” Karan menawarkannya. “Hmm . Ok. “Mulai dari yang simple jika menanyakan kabar di sini,
Apa kabar?” Aku memulainya. Karan merespon “Ok. Kya Hal hai?”
Begitulah, menyenangkan berbicara dengannya. Karan
memiliki hobi yang sama denganku. Memasak. “Tanyakan padaku segala jenis
masakan, aku bisa melakukannya. Tentu saja masakan India. Aku ahlinya”
jelasnya. Pfft, aku juga bisa melakukannya, “I’m expert” tulisku.
“Nope, selama kau tak bisa masakan India, you’re nothing!”
Karan menjawab. “What?!” Perasaaanku sangat kesal. Lalu ia mengirimiku emoticon
lucu, “Aku hanya bercanda, jangan mudah terbawa emosi, Jaan!” aku terdiam, ia
mengetahui bahwa aku sedang kesal. “Jaan?”. Tanyaku. “ Oh, Jaan berarti ‘honey’ Eh, maksudku, maaf, aku tak
bermaksud untuk itu. Nanti akan aku ajarkan kau masakan India, aku senang
mengetahui kau senang memasak juga. Ibuku pasti akan menyukaimu. Wanita
didaerahku jarang sekali yang bisa memasak. Mereka lebih senang untuk pergi
jalan-jalan ke Mall. Entah apa yang mereka lakukan disana.”
Sama saja pikirku, ‘Woman’. Aku melirik ke arah jam. Ia
seperti bisa membaca pikiranku. “Pasti sudah larut disana, lebih baik kau
tidur! Kau mulai meguap, aku bisa merasakannya.” Aku hanya terdiam. Bagaimana
dia bisa tahu. Kami berbincang tidak menggunakan kamera. Hanya tulisan saja. “Baiklah,
sampai nanti.” Balasku.
“Tapi, tolong
bisakah kita berbicara lagi, besok? Mungkin waktu yang sesuai denganmu, aku
akan berusaha untuk online untukmu.” Ia menjawab. “Mungkin besok aku tidak
bisa, 2 hari mulai sekarang, Ok, Pukul 21.00 waktu sini.”“Baik, perbedaan jam
kita cukup jauh. Kuharap bisa mengenalmu, terima kasih. Cepatlah tidur.” Lalu
ia menutup chattingan. Aku terdiam,
berfikir, ada perasaan Ia memintaku untuk segera tidur seperti sebuah perintah
dari atasan. Aku hanya memiringkan kepalaku, baiklah, aku juga sudah mengantuk.
Kututup netbook ku. Tidur.
Pukul 21.00.
Kumulai membuka netbook
ku. Sebenarnya aku tak yakin ingin berbuat apa, namun kuteringat akan janjiku
kepadanya. Aku mencoba membuka saluran messenger
yang sudah mendunia itu, kutatap layar. Tidak ada tanda-tanda dia online , hmm, sudahlah, aku hampir saja
menutupnya saat aku melihat di pojok kanan bawah, Karan Online.
Ia menyapaku dengan mengucapkan kata
maaf. “ Aku mendapatkan tugas dari dosenku, btw
aku diminta sebagai asisten dosen disini untuk menggantikannya, aku tak bisa
menolak, kau tahu aku masih mebutuhkan nilai.” Jelasnya. “Aku mengingatmu, jadi
maafkan aku. Setidaknya aku terlambat 7 menit, tak mengapa kan? Bagaimana
harimu dengan muridmu?”
Aku hanya menceritakan kegiatan sehari-hariku seperti
biasa, tak ada yang spesial hari ini, hanya sebenarnya tak sabar aku menunggu
pukul 21.00. “Kau pasti merindukanku!” Tulisnya. “ lol, J” Lalu Ia bertanya padaku mengapa aku bergabung dalam
group chat ini, aku terdiam. Selain keinginan untuk memperlancar bahasa
Inggrisku, aku berharap mendapatkan seorang teman untuk berbagi pengalaman,
rasa sedih dan bahagiaku. “ Kau sudah mempunyai pacar?” tanyanya kembali. “
Belum, “ Jawabku. “ Kalau begitu, jadilah Ratuku!” tulisnya. Tiba-tiba dipojok
kanan muncul nama seorang teman lamaku, teman kuliahku. Ah, sudah lama aku tak
bercengkerama dengannya, mengingat aku sekarang tinggal di Pulau yang berbeda
dengannya. Ia di Sumatera sekarang. Ia menyapaku, “Hi, Cassie, lama tak jumpa, ba’a kaba?”“ Fine, aku sudah lama tak
bertemu denganmu, kau baik-baik saja? Eh kapan nih kita reunian?” celotehku.
Buzz ! Buzz! Aku terhenyak. Karan menegorku. “ Kau
berbicara dengan orang lain. Kalau begitu aku offline dulu. Nanti kita
lanjutkan setelah kau selesai dengannya!” Ia menutup chattingan kami. Belum sempat aku berkata “tapi”. Ya sudahlah,
pikirku. Lalu aku melanjutkan berbicara dengan Ardy, temanku. Saat ini ia
melanjutkan studi S2 disana. Wah, beruntung sekali ia mendapatkan beasiswa.
Padahal keinginanku untuk melanjutkan kuliah juga sangat tinggi. Tak lama
setelah itu aku menutup obrolanku. Kemudian muncul nama Karan sekali lagi.
“ Kau sudah selesai berbicara dengan lelaki itu?” Aku
melotot, bagaimana dia bisa mengetahui itu? Lalu aku menceritakan bahwa ia
adalah teman kuliahku, sudah lama aku tak berbincang dengannya. “Baiklah, tapi
kumohon jangan mengulangi lagi saat kau berbicara denganku, Cassie. Aku membuat
diriku invisible sehingga
teman-temanku tidak mengetahui bahwa aku online.
Aku hanya berbicara denganmu. Dan kau belum menjawab pertanyaanku, Cassie.”
Pertanyaan apa pikirku, “Be my Queen, Cassie!” Aku
menghela nafas. Entahlah, kupikir kita baru berkenalan sebentar, kenapa ia
berkata seperti itu. “Maafkan aku, Cassie. Mungkin terlalu cepat aku
mengucapkan ini.” Lalu ia mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan
kegiatannya bahwa ia harus menempuh perjalanan sekitar sejam untuk menempuh
tempat kuliahnya. Tapi ia tak menggunakan mobil, disini lebih murah untuk
menggunakan motor. Sedangkan harga bis publik bisa dua kali lipat. Ditempatnya
sedang terjadi krisis keuangan. Sama seperti Indonesia.
“Cassie, aku baru saja tiba, aku lapar, aku akan membuat
makanan sebentar, kau mau menungguku kan?” Tiba-tiba perutku ikut berbunyi. “Kau
lapar juga Cassie? Carilah makanan untuk dirimu sendiri.” Ajaib, pikirku. Aku segera bangkit dari
dudukku dan melihat kedalam kulkas. Telur, hmm, mungkin aku akan membuat mie
instant saja. Selesai merebus dan meniriskan mie, aku mulai menumis cabai rawit
dan telur, baru kemudian aku memasukkan mie dan mengaduknya. Rasa pedas yang
kusuka dari cabai rawit membuatku melek lagi.
Kenyang sudah, lalu aku mulai duduk lagi depan netbook ku. Saat ini aku membuat
statusku invisible dan hanya khusus
untuk Karan aku bisa dilihat. Ia belum muncul juga, aku membayangkan apa yang
dibuatnya. Pastilah sesuatu yang spicy,
karena kudengar masakan India menggunakan bumbu rempah yang banyak. Sedikit
bosan menunggunya akhirnya kuputuskan untuk browsing
materi yang akan kugunakan mengajar dikelas esok.
Buzz ! Aku mellirik ke bawah, ia menegurku. “Cassie, are you still there? What are you
doing?” “Mencari artikel untuk diajarkan kepada muridku”, jawabku. Baiklah,
selagi kau mencarinya aku akan menceritakan padamu mengenai hari ini. Hari ini cukup
melelahkan, senang berbicara denganmu. Tadi pagi ayahku berkata padaku bahwa ia
ingin menimang cucu. Aku hanya terdiam, kakak perempuanku belum menikah. Aku
tak ingin melangkahinya. Lagipula aku belum menemukan seseorang yang cocok
denganku. Sebenarnya ini sudah sering ia ungkapkan, namun ia tak berani
berbicara kepada kakakku. Hasilnya aku yang diminta untuk melakukannya. Aku
berjanji dalam hatiku tak akan melakukannya sebelum kakakku.
Aku terdiam, sama halnya denganku. Kakak perempuanku
belum menikah, namun aku ingin segera menikah. Tetapi kakakku belum menemukan
pria yang cocok untuknya begitu juga denganku. “Lol, kalau begitu nasib kita sama. Cassie, boleh aku bertanya
padamu? Apa agamamu?” tanyanya “Kenapa?” balasku. “Ya ampun, masalah ini
penting bagiku tidakkah ini penting juga untukmu?” Karan menulis dengan cepat. Aku
mulai sedikit khawair maksud pertanyaan itu. Astaga, jangan-jangan dia bukan
seorang Muslim, mengapa aku tak memikirkannya. “Aku Muslim. Bagaimana denganmu?”
pada akhirnya aku menjawab. “Syukurlah!” Karan berkata.
“Kenapa? “ selidikku. Ibuku Hindu, ayahku Muslim. Aku tak
tahu mengapa mereka bersatu. Tapi karena mereka aku ada. Aku melihat ibuku
beribadah dan ayahku juga mengajarkanku shalat. Ibu tak pernah memaksaku
mengikuti ajarannya. Tapi karena ayah bersikap keras kepadaku, aku memeluk
agama Islam. Kakakku memeluk ajaran Hindu seperti Ibuku. Entah aku harus
bersyukur atau tidak kepada ayahku. Tapi
aku menyayangi ibuku. Aku ingin ibuku sama sepertiku. Mungkin nanti saat ia
mendapatkan menantu Muslim juga ia akan mengikuti.
“So you tell something about yourself. Ap Kuch apnay
baray mai Kuch bolo...”Aku pun membalasnya. Ayah
dan ibuku Muslim. Aku anak kedua, kakakku perempuan dan adikku laki-laki. Kami
bertiga sudah bekerja. Jadi mereka sudah tidak terbebani lagi masalah keuangan.
Aku juga sudah mencicil rumah, namun untuk uang muka aku meminjamnya dari
sebuah bank negara. Aku sudah tinggal sendiri sekarang. “Allah ap sub ko salam
rakhay hai, Good, may Allah give bless you
all!” tulisnya.
Sejak
saat itu kami pun selalu membuat janji untuk berbagi cerita. Seperti saat ini,
ia bisa menghubungiku siang hari. “Jadi kau sekarang disekolah, Jaan?”
tanyanya. Aku menjawabnya melalui selularku. Demi berbicara dengannya, aku pun
mengunduh program chatting itu. “Tidak, setelah rapat tadi aku izin keluar
untuk menemui dokter gigiku. Saat ini aku sudah selesai dan menunggu resep
obatku”. Entah kenapa aku terbiasa dengan sapaan ‘Jaan’ sekarang ini. Aku hanya
menyukai kata tesebut, itu saja tidak lebih. “Apa yang terjadi dengan gigimu?”.
Aku menceritakan bahwa aku hanya menambal gigiku saja, namun ternyata ada satu
gigi yang harus dicabut, mamun itu untuk perjanjian pertemuan berikutnya,
dokterku bilang aku harus mengilangkan rasa nyeri yang ada. Lalu ia bertanya
padaku, “Siapa yang bersamamu saat ini?”. Aku mngerenyitkan alisku, apa
maksudnya. Aku sedang menunggu resep bersama pasien lain. “Maksudku, untuk
pertemuan berikutnya kau jangan pergi sendirian, setidaknya kau harus bersama
kerabatmu atau temanmu! Aku pernah mencabut gigiku, dan itu sangat sakit
sekali. Jadi kuharap kau tidak berpergian sendiri seperti saat ini!”. Aku hanya
tertawa, aku sudah pernah mengalaminya juga. Kubilang padanya, tak usah
mengkhawatirkanku lagipula klinik gigi ini dekat dengan kantorku. Aku sudah dewasa. “Tidak, aku khawatir
kepadamu, setelah mencabut gigi itu menyakitkan. Jadi katakan padaku kau akan
mengajak seseorang atau tidak?” Aku hanya menghela nafas dan mengatakan iya
pada Karan. “ Jika kau berbohong atau menyembunyikannya padaku, aku akan datang
kesana mencabut gigimu tanpa obat! Siapapun yang nanti kau ajak aku ingin kau
tak pergi kesana sendirian!” Aku hanya tertawa dan mengatakan baiklah. Dalam
hatiku berfikir, ayahku tak akan mengkhawatirkanku untuk hal seperti ini. Aku
wanita mandiri. Dan ayah tahu itu pasti.
Karan
selalu mengkhawatirkanku berlebihan, tapi itu demi kebaikanku, seakan ia tahu
apa yang akan terjadi denganku. Kupikir ia mempunya indra ke enam. Aku sempat
menanyakannya. Lama ia tak menjawab dan akhirnya ia bercerita bahwa ia memiliki
kemampuan itu. Pikiranku langsung melayang kemana-mana, pantas saja ia tahu apa
yang aku lakukan. Dan aku tahu ia mengetahui saat aku berbohong, meskipun
demikian kadang ia mendiamkanku untuk beberapa hari seperti saat ia menyuruhku
untuk makan. Aku sedang tak ingin melahap makanan apapun. Ia terus menyuruhku makan.
Dan aku menjawabnya baiklah aku makan sekarang padahal aku tak melakukannya.
Dan beberapa hari kemudian saat aku mengeluh penyakit maagh ku kambuh, ia hanya
mengucapkan kata aku sudah memperingatimu. Semenjak itu secara sadar atau tidak
aku selalu menuruti kata-katanya.
Karan
sering mengucapkan bahwa meskipun aku sudah dewasa ia tetap akan
memperlakukanku seperti umur 18. “Aku akan memperlakukanmu dengan seluruh
perhatianku lebih dari yang kau harapkan”. Dan persahabatanku dengannya terus
berlanjut hingga tanpa kusadari sudah lebih dari setahun. Memang kami tak
selalu setiap saat berbicara, namun kami selalu menanyakan kabar masing-masing.
Aku dan Karan tetap pada kesibukan kami. Namun, bila kami tak berbicara lebih
dari 2 minggu ada rasa aneh terbesit dihatiku, perasaan didada seakan ada yang
seseorang yang terus memanggil namaku dari jauh. Dan biasanya entah kenapa saat
aku mulai menyapanya ataupun sebaliknya waktunya selalu bersamaan. Seakan
pikiran kami sudah menyatu. Itulah kini
aku sering memanggilnya ‘Muin Achi’ yang dalam bahasa Karan berarti Mataku. Aku
tak ingin memanggilnya Jaan seperti yang dia ucapkan, aku ingin ia menjadi
mataku dimana saja ia berada dan kuharap Karan selalu mengingatku. Pertama
kuucapkan Karan terkejut dan senang karena tak ada yang memanggilnya seperti
itu.
Hingga
suatu hari entah dimulai darimana seperti biasa aku menanyakan apakah ia sudah makan
malam atau belum, aku melontarkan pernyataan bahwa disana pastilah banyak yang
menyukainya ia hanya tertawa. “Aku tak akan mengatakan aku tak berbicara dengan
gadis-gadis disini. Namun aku belum memiliki hubungan apapun dengan gadis-gadis
kecuali persahabatan. Dulu aku mempunyai seseorang yang spesial tapi dia
menikah terlebih dulu setelah 5 tahun dalam suatu hubungan, sekarang ia
mempunyai seorang bayi perempuan. Setelah itu aku tidak mencoba hubungan dengan
gadis lain. Aku tahu pada akhirnya mereka akan menghianatiku dan tak ada
jaminan dia tidak akan meninggalkanku”. Aku mengatakan “ Kau punya karakter
yang kuat, setia dan jujur, gadis yang
meninggalkanmu pasti tak bersyukur”. Karan tertawa, “Terima kasih, aku percaya
bahwa dia bukanlah takdirku, Allah belum memilihnya untukku, mungkin aku akan
mempunyai seseorang untuk aku nikahi atau siapa tahu aku akan mati tanpa adanya
pernikahan. Semua ditangan Allah.” Aku setuju dengan jawaban Karan. Lalu Karan
menambahkan, “Aku akan menemukan seseorang tapi aku tidak begitu mudah percaya
lagi seutuhnya, gadis-gadis sangat sulit untuk dimengerti juga, Cassie maukah
kau menjadi kekasihku?”. Aku sangat terkejut, “Teman atau kekasih? Jika
seseorang memintaku jadi kekasih aku tak akan menerimanya, tapi untuk menjadi
istrinya aku mau!”
“Kekasihku.
Pendapatmu sangat bagus, namun kau tak akan menikah dengan seseorang yang
sangat jauh kan?” tanya Karan. Aku
menjawab” Akan ada cara untuk itu!”.
Namun Karan membalas, “ Aku sering melihat hubungan jaringan sosial. Banyak
temanku berhubungan dengan gadis asing. Namun aku belum pernah melihatnya yang
berakhir seperti itu. Aku laki-laki yang langsung saja. Aku banyak mendengar
banyak orang yang mengatakan janji setia dan mereka melanggarnya. Itu tidak
baik. Setiap saat kita harus setia terhadap teman atau kekasih. Apapun
situasinya.” Aku sangat tidak mengerti ucapan Karan, “Lalu kenapa kau memintaku
untuk jadi kekasihmu?”.
“Kau tahu, aku sangat menyukaimu, dari caramu berbicara,
memperhatikanku, terlebih kau seorang Muslim. Tapi aku tak ingin memberikanmu
harapan palsu, aku ingin kau menjadi kekasihku tapi aku pun tahu aku tak dapat
menikahimu. Maafkan aku Jaan. Tapi untuk menjadi orang yang setia lebih baik
daripada memberikan harapan palsu meskipun itu menyakitkan.” Aku hanya terdiam
membacanya, dadaku terasa sesak. Lalu, “Baiklah, ini berarti kau akan berbicara
kepadaku setiap saat, aku akan selalu menjadi bahumu dalam keadaan apapun dan
aku menunggumu sampai kau mengucapkan kata selamat tinggal kan? Bisa kau
berikan aku sebuah pistol?” tulisku.
“Tidak, aku tak akan pernah mengucapkan selamat tinggal
untukmu, jika nantinya aku pun menikah kau akan selalu bersamaku bahkan sangat
dekat. Jaan, i love you. Itu yang aku
ucapkan saat pertama aku bertemu denganmu. Aku bisa saja menghianatimu, tapi
tidak. Jika aku membuat suatu hubungan dengan kebohongan maka itu tak akan
berlangsung lama. Aku ingin selalu bersamamu. Kau membutuhkan pistol untuk
menembakku? Jaan, bisakah kau berjanji padaku? Bahwa kau akan membagi segalanya
dalam kondisi senang maupun sedih, baik ataupun buruk, naik atau turun. Apapun
itu, segalanya? Aku ingin kau menjadi kekasihku. Katakan iya atau tidak. Aku
akan setuju pada keputusanmu. Siapa tahu dimasa depan kau akan menjadi istriku
dan aku menjadi suamimu”.
“Hatiku meleleh membacanya, namun Karan, itu sangat
menyakitkan. Kau tahu, pelangi menghiasi hidupku saat kau datang. Aku tahu kau
jauh, namun hatiku sudah terlanjur dekat denganmu. Sudahlah, kepalaku sakit
dibuatnya.” Aku ingin sekali mengakhiri percakapan ini. Namun Karan dengan
cepat membalas, “Tidak, itu bukan jawaban. Aku ingin jawaban yang jelas.
Jadilah kekasihku atau tidak?”.
Beberapa detik aku terdiam, “Maafkan aku Karan, Jika kau
menginginkanku jadi istri aku akan menjawab iya, untuk pertanyaanmu barusan, jawabanku
tidak!”. Respon Karan pun langsung
dituliskannya, “Aku berterima kasih banyak padamu, Jaan. Untuk semua yang kau
berikan. Kya pyaar hu? I love you!.
Namun aku menghormati jawabanmu. Aku berdo’a semoga keberkahan selalu ada menghiasi
hidup kita berdua. Allah Hafiz”.
Kami pun mengakhiri percakapan kami yang terakhir. Aku
hanya terdiam menatap layar. Benar ucapan Karan hubungan dengan ekspatriat tak
akan berlangsung lama, aku tak ingin mempercayainya namun kini hal itu terjadi padaku. Aku
menghela nafasku. Bersender pada tembok dan menatap langit-langit. Aku tak
ingin mengambil resiko terlalu lama untuk menunggunya mapan. Dan menjemputku di
Jakarta?. Aku menggeleng. Pertemanan
sejati hanyalah akan membuatku terluka lebih jauh.
Seminggu kemudian aku masih sering berharap Karan
menegurku, namun layar selularku tak pernah memberikan sedikit harapan
kepadaku. Aku tahu Karan kesalahan terbaikku namun aku melakukannya dengan
sadar. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum pahit dan mengucapkan syukur, mungkin
Allah telah menciptakan ‘pangeranku’ di suatu tempat. Kutunggu pelangi
selanjutnya.

Comments
Post a Comment